PENDAHULUAN
Difinisi Forensik
Berbagai referensi menjelaskan bahwa “forensik” (dalam Bahasa Inggris,
“forensic”) berasal dari akar kata “forensis” (bahasa latin), yang berarti “
untuk atau sebelum forum”. Istilah forensik ini bermula muncul pada zaman Romawi,
dimana suatu tuntutan kejahatan disampaikan sebelum persoalan tersebut di
bicarakan di “forum”. Pada masa itu, “forum” merupakan tempat yang digunakan
untuk menyampaikan pidato (tempat pertemuan), pertarungan gladiator (gedung
olah raga) serta pengadilan. Kedua belah pihak, baik tertuduh maupun yang
menuduh diberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan berkaitan dengan
kasus tersebut menurut versi masing-masing. Keputusan akan berpihak kepada
siapa saja yang dapat menyampaikan penjelasan paling baik dan rasional. Asal
mula terminologi forensik tersebut merupakan sumber dari dua penggunaan moderen
dari kata “forensik”, yaitu sebagai
suatu bentuk bukti legal dan presentasi publik. Di dalam penggunaan moderen,
terminologi “forensik” dapat berarti “ilmu forensik” atau dapat juga dimaknai
sebagai sinonim dari istilah “legal” atau “yang berhubungan dengan pengadilan”.
Namun demikian, istilah “forensik” saat ini
di dalam banyak kamus lebih cenderung dimaknai sebagai bidang keilmuan
atau ilmu forensik.
Ilmu forensik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan untuk tujuan pengungkapan
kasus-kasus kejahatan, maupun kasus-kasus perdata. Dalam proses penyidikan,
ahli forensik bertugas mengumpulkan, mengawetkan serta menganalisis barang
bukti dengan menggunakan metode ilmiah. Sebagian dari para ahli tersebut
mempunyai tugas melakukan pengolahan tempat kejadian perkara dan sebagian lagi
melakukan analisis secara laboratoris terhadap barang bukti tersebut. Selain
itu, para ahli forensik juga mempunyai tugas sebagai “saksi ahli” baik untuk
perkara pidana maupun perterdata yang mereka periksa, dan hasil kerja mereka mungkin
saja berpihak kepada pihak penuntut, atau mungkin kepada yang dituntut
bergantung kepada pihak mana yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang
disajikan oleh para ahli forensik tersebut. Ilmu forensik berkembang dari waktu
ke waktu untuk menjawab kasus-kasus yang membutuhkan pembuktian forensik.
Mengingat pentingnya peranan para ahli forensik dalam pengungkapan kasus-kasus
kejahatan maupun perdata, maka mereka harus memiliki integritas yang tinggi,
serta dipandu oleh petunjuk kerja dan aturan etik yang ketat dalam pelaksanaan
tugasnya.
Sejarah Ilmu Forensik
Pada zaman kuno penggunaan ilmu forensik untuk membantu pengungkapan
kasus-kasus kejahatan boleh dikatakan tidak ada, hal ini memberikan peluang
yang besar dimana para pelaku kejahatan terbebas dari tuntutan dan hukuman.
Penyidikan kasus-kasus kejahatan masih bertumpu pada upaya penekanan tersangka
untuk memberikan pengakuan serta keterangan saksi mata. Namun demikian, pada
beberapa abad yang lalu telah muncul beberapa konsep ilmu forensik yang menjadi
cikal bakal ilmu forensik moderen saat ini.
Archimedes (287-212 SM) menemukan metode untuk menentukan volume suatu benda
yang bentuknya tidak beraturan. Sejarah penemuan tersebut bermula ketika
seorang pembesar kerajaan Romawi yang bernama Vitruvius, memerintahkan seorang pengrajin emas untuk membuat
mahkota yang terbuat dari emas untuk raja Hiero II, dimana si pembesar tersebut
telah memberikan sejumlah emas murni sebagai bahan untuk pembuatan mahkota raja
dimaksud. Setelah mahkota raja selesai, sang pembesar Romawi tersebut menaruh
curiga kepada sang pengrajin emas mengenai kemungkinan dia mengganti sebagain
emas tersebut dengan perak. Untuk membuktikan kecurigaannya, sang pembesar
kerajaan meminta Archimedes untuk
melakukan pemeriksaan terhadap mahkota raja itu. Dengan berbagai upaya akhirnya
Archimedes dapat membuktikan bahwa sang pengrajin emas telah berlaku tidak
jujur dalam pembuatan mahkota raja, yaitu dengan mengganti sebagian emas dengan
perak. Pembuktian tersebut dilakukan Archimedes dengan melakukan pemeriksaan
terhadap mahkota raja tersebut tanpa merusaknya sedikitpun. Archimedes tidak
perlu melelehkan mahkota tersebut untuk dapat menetapkan berat jenis dari bahan
yang digunakan untuk pembuatannya, cukup dengan mencelupkan mahkota tersebut ke
dalam air, kemudian mengukur volume air yang dipindahkannya. Proses penentuan
berat jenis yang dilakukan oleh Archimedes untuk membuktikan tingkat kemurnian
emas yang digunakan dalam pembuatan mahkota raja dapat diillustrasikan melalui
gambar berikut :
Song Ci (1186 – 1249 SM) seorang penulis
pada masa Dinasti Song di Cina, pada tahun 1248
menulis buku berjudul Xi Yuan Lu
(membersihkan kesalahan) yang menjelaskan tentang penggunaan ilmu kedokteran
dan entomologi (ilmu tentang metamorfose serangga) untuk mengungkapkan
kasus-kasus kriminal. Salah satu yang kisah nyata pada masa itu yang diuraikan
dalam buku tersebut adalah kisah dimana seseorang yang dibunuh dengan
menggunakan sabit (arit) yang berhasil diungkapkan oleh penyidik, dimana
penyidik menginstruksikan setiap orang di desa itu untuk membawa sabitnya ke
suatu lokasi. Penyidik tersebut
mengetahui bahwa korban dibunuh dengan menggunakan sabit, karena dia
sudah mencoba melukai bangkai binatang
dengan berbagai jenis senjata tajam dan membandingkan bentuk
perlukaannya dengan bentuk luka dari korban. Pada saat semua sabit sudah
terkumpul di tempat yang ditentukan, ada sebuah sabit yang dikerubuti lalat,
yang membuktikan bahwa pada sabit tersebut terdapat noda darah. Dengan cara itu
penyidik dapat menetapkan bahwa pemilik sabit yang dikerubuti lalat tersebut
adalah tersangka pembunuh. Di dalam buku tersebut juga terdapat penjelasan
bagaimana cara membedakan antara orang yang mati tenggelam (terdapat air di
dalam paru-parunya) dengan orang yang mati dicekik (tulang leher patah), serta
bukti-bukti lain yang diperoleh dari pengujian (pemeriksaan) mayat dalam upaya
untuk menentukan penyebab kematian akibat pembunuhan, bunuh diri atau suatu
kecelakaan.
Berbagai metode uji kebohongan dari seluruh penjuru dunia sebagai
cikal-bakal dari uji polygraph yang digunakan saat ini. Pada zaman kuno di
India, para tersangka diisi mulutnya dengan beras kering, kemudian disuruh ke
luarkan dengan cara meludah. Hal yang sama juga dilakukan di Cina, tersangka
pelaku kejahatan, diisi mulutnya tepung beras. Sedangkan di Timur Tengah,
tersangka disuruh menjilat dengan cepat sebatang logam panas. Semua uji
tersebut di atas dipikir memiliki validitas, karena orang yang bersalah akan
memproduksi air liur lebih sedikit , sehingga rongga mulutnya lebih kering,
sehingga tersangka dapat dinyatakan bersalah jika banyak beras kering yang melengket di dalam
mulutnya atau untuk kasus kedua jika lidah tersangka mengalami luka bakar yang
parah yang disebabkan kurangnya air liur yang melindungi lidahnya dari benda
panas yang dijilatnya.
Pada abad-16 di Eropa, para praktisi medis dari institusi militer dan
universitas mulai mengumpulkan informasi bersama berkaitan dengan penyebab dan
cara kematian. Ambroise Pare, seorang seorang ahli bedah tentara dari Perancis,
secara sistematis mempelajari efek-efek kekerasan yang mematikan terhadap
organ-organ dalam manusia. Dua orang ahli bedah dari Italia, Fortunato Fidelis
dan Paolo Zacchia, telah meletakkan dasar-dasar pathology moderen dengan
mempelajari perubahan yang terjadi pada struktur tubuh akibat penyakit. Pada
akhir abad-18, tulisan mengenai topik ini mulai muncul, diantaranya A Treatise on Forensic Medicine and Public
Health (Risalah Forensik Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat) yang ditulis
oleh seorang dokter Perancis “Francois Immanuele Fodere” dan The Complete System of Police Medicine
(Sistem Lengkap Kedokteran Kepolisian) yang ditulis oleh seorang dokter
berkebangsaan Jerman, “Johann Peter Frank”.
Sejalan dengan meningkatnya pemikiran rasional dan peradaban manusia, pada
abad 18, penyidikan kasus-kasus kejahatan
sudah lebih banyak didasarkan pada barang bukti dan prosedur rasional. Penggunaan cara-cara penyiksaan
untuk memaksakan pengakuan sudah dibatasi, dan kepercayaan terhadap ilmu gaib
sudah banyak berkurang pengaruhnya terhadap keputusan pengadilan. Ada dua
contoh laporan penanganan masalah hukum yang terkait dengan pembuktian forensik
di Inggris yang menunjukkan meningkatnya penggunaan prosedur logis dalam
penyidikan kasus kriminal pada waktu itu. Pada tahun 1784 di Lancester, John
Toms menjadi tersangka pembunuhan Edward Culshaw dengan menggunakan pistol.
Pada saat mayat Culshaw diperiksa ditemukan sisa kertas (yang digunakan untuk
membersihkan sisa mesiu pada moncong pistol) pada luka kepala korban, dimana sisa kertas
tersebut sama persis dengan sobekan kertas koran yang ada di saku baju
tersangka (Toms). Dengan dasar barang bukti tersebut Tom diputuskan bersalah
sebagai pelaku pembunuhan itu. Kasus kedua terjadi pada tahun 1816 di Warwick,
seorang pekerja (buruh) tani menjadi tersangka pembunuhan seorang wanita muda
pembantu rumah tangga. Wanita tersebut ditenggelamkan di dalam kolam yang
dangkal dan meninggalkan bekas-bekas perkosaan dengan kekerasan. Polisi
menemukan jejak kaki dan bekas pakaian yang dipakai pelaku pada tanah basah di
dekat kolam. Selain itu, juga ditemukan ceceran biji gandum dan dedak. Penyidik
kemudian melakukan pengujian dengan mencocokkan jejak pakaian yang ditemukan di
tanah tersebut dengan bekas pakaian tersangka yang digunakan dalam pekerjaan
merontokkan biji gandum tidak jauh dari lokasi ditemukannya mayat korban.
Hasilnya, jejak tersebut sangat bersesuaian dengan celana yang digunakan
tersangka.
Toksikologi dan balistik
Suatu metode untuk mendeteksi senyawa arsen (arsen oksida) pada jenazah
telah ditemukan pada tahun 1773 oleh seorang ahli kimia Swedia yang bernama “Carl
Wilhelm Scheele”. Penemuan ini kemudian dikembangkan oleh “Valentin Ross” (ahli
kimia Jerman), yang mempelajari cara mendeteksi racun yang terdapat pada
lambung korban. James Marsh merupakan orang pertama yang mengaplikasikan metode
pendeteksian ini dalam konteks forensik. Marsh diminta oleh hakim pada suatu
peradilan kasus pembunuhan sebagai saksi ahli pada tahun 1832. John Bodle
didakwa meracuni neneknya dengan racun arsen yang dimasukkan ke dalam minuman
kopi. Marsh kemudian melakukan pengujian sesuai dengan metode yang dikembangkan
Ross, yaitu dengan menambahkan contoh (barang bukti) yang diduga mengandung
arsen dengan hidrogen sulfida (H2S) dan hidrogen khlorida (HCl).
Walaupun Marsh mampu mendeteksi adanya arsen dalam contoh tersebut dengan
terbentuknya arsen-tri sulfida (As2S3) yang berwarna kuning, tetapi ketika senyawa yang
berwarna kuning tersebut ditunjukkan ke hakim, warnanya sudah mengalami
perubahan (memudar karena reaksi
oksdidasi). Hal ini menimbulkan keraguan hakim, sehingga tersangka dibebaskan
dari hukuman.
Termotivasi dari kejadian itu, Mars kemudian mengembangkan metode deteksi
yang lebih baik. Dia mencampurkan contoh (barang bukti) yang diduga mengandung
arsen dengan asam sulfat (H2SO4) dan lempengan logam seng
(Zn), campuran tersebut bereaksi menghasilkan gas arsin (AsH3).
Apabila gas tersebut dipanaskan (dipijarkan), akan terurai menjadi logam arsen
(As), dimana uap logam arsen ini apabila dilewatkan pada permukaan yang dingin,
maka akan berubah menjadi endapan (deposit) berwarna hitam keperakan. Metode
deteksi ini sangat peka, mampu mendeteksi kandungan arsen dengan batas terkecil
sampai 0,02 mg arsen. Metode deteksi ini
dikenal dengan nama Marsh test
(sesuai dengan nama penemunya), pertama kali dipublikasikan di dalam majalah
ilmiah The Edinburgh Philosophical
Journal pada tahun 1863.
Henry Goddard dari dinas Kepolisian Inggris (Scotland Yard) merupakan orang pertama yang menggunakan metode perbandingan
untuk peluru (bullet comparison) pada
tahun 1835. Dia mencatat suatu cacat pada anak peluru yang membunuh korban dan
mampu menjejaki pada pabrik peluru mana peluru tersebut diproduksi (berdasarkan
cacat pada cetakan anak peluru).
Antropometri
Alphonse Bertillon, seorang anggota Kepolisian Perancis, merupakan orang
yang pertama menerapkan metode antropometri dalam penegakan hukum, yaitu dengan
membuat sistem identifikasi berdasarkan pengukuran fisik orang. Sebelum itu,
para pelaku kejahatan hanya diidentifikasi dengan nama atau foto saja. Karena
ketidak-puasannya terhadap metode identifikasi yang ada saat itu, dia mulai
mengembangkan sistem antropometri untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk fisik
manusia.
Bertillon juga banyak membuat teknik-teknik forensik yang lain, termasuk pengujian
forensik dokumen, penggunaan bahan galvanoplastik untuk mengawetkan jejak kaki,
balistik, serta dinamometer yang digunakan untuk menentukan kekuatan merusak
dan menembus suatu benda terhadap suatu obyek. Meskipun, metode yang
identifikasi manusia yang dikembangkannya kemudian segera tergantikan oleh
metode identifikasi sidik jari, beberapa metode dan teknik pemeriksaan forensik
yang dikembangkannya, seperti peralatan uji tembak dan sistematisasi fotografi
tempat kejadian perkara masih tetap digunakan hingga sekarang.
William Herschel, seorang pengacara asal Inggris merupakan orang yang
pertama kali menggunakan sidik jari untuk mengidentifikasi tersangka pelaku
kriminal. Dia mulai mengembangkan metode identifikasi sidik jari tersebut
ketika bekerja di kantor catatan sipil di India dan mulai menggunakan sidik
jari (sidik jari ibu-jari) pada tahun 1858 pada dokumen, untuk mengamankan
dokumen tersebut dari penyangkalan terhadap tanda-tangan pemiliknya. Pada tahun
1877, Herschel, melembagakan penggunaan sidik jari pada kontrak dan akte di
Hooghly (dekat Calcutta), serta membuat daftar sidik jari pensiunan pegawai
pemerintah untuk mencegah pengambilan uang pensiun secara illegal oleh
keluarganya ketika yang bersangkutan sudah meninggal.
Pada tahun 1880, Dr.Henry Faulds, seorang dokter bedah berkembangsaan
Skotlandia yang bekerja di sebuah Rumah Sakit di Tokyo, mempublikasikan tulisan
ilmiah pertamanya pada jurnal ilmiah (Nature), yang membahas tentang kegunaan
sidik jari untuk identifikasi, serta mengusulkan suatu metode untuk merekam
sidik jari tersebut menggunakan tinta cetak.
Faulds menetapkan klasifikasi pertamanya serta dia juga yang pertama
kali mengidentifikasi sidik jari yang tertinggal pada sebuah botol kaca. Ketika
dia kembali ke Inggris pada tahun 1886, dia menawarkan konsep tersebut kepada
Kepolisian Kota London, tetapi konsep tersebut ditolak pada waktu itu.
Faulds kemudian mengirim surat kepada Charles Darwin dan menjelaskan
tentang metode identifikasi temuannya, tetapi pada waktu itu kondisi Darwin
sudah tua dan sakit-sakitan sehingga dia memberikan informasi dari Faulds tersebut
kepada sepupunya yang bernama Francis Galton, yang tertarik dengan bidang
antropologi. Terinspirasi dengan konsep tersebut, dia mempelajarinya selama
kurang lebih sepuluh tahun, kemudian mempublikasikan suatu model statistik
lengkap dari analisis sidik jari dan mengusulkan serta mendorong penggunaan
metode identifikasi tersebut dalam dunia forensik melalui buku yang ditulisnya
berjudul Sidik Jari (Finger Prints).
Berdasarkan perhitungannya, peluang untuk adanya dua orang yang memiliki sidik
jari yang persis sama adalah sekitar 1 dalam 64 milyar orang.
Juan Vucetich seorang perwira polisi Argentina yang telah mempelajari pola
sidik jari yang diusulkan Galton, menggunakan metode tersebut pertama
kalinya untuk merekam sidik jari
perorangan ke dalam suatu file pada tahun 1892. Vecetich merupakan orang
pertama di dunia yang mengembangkan lembaga sidik jari. Pada tahun yang sama,
Francisca Rojas ditemukan di sebuah rumah di
Necochea ( sebuah kota pelabuhan di Argentina) dengan luka-luka pada lehernya
bersama dua orang anaknya yang meninggal
dengan leher terpotong. Rojas menuduh salah seorang tetangganya sebagai pelaku
pembunuhan itu, tetapi meskipun penyidik sudah melakukan interogasi dengan kasar,
namun si tersangka tetap saja tidak mau mengakui tindak kejahatan tersebut.
Inpektur Polisi Alvares, salah seorang teman dekat Vucetich memeriksa tempat
kejadian perkara dan menemukan bekas sidik ibu jari dari darah yang terbentuk
di sebuah pintu di rumah itu. Ketika pola sidik jari tersebut dibandingkan
dengan pola sidik jari milik Roja, diketahui bahwa kedua pola sidik jari
tersebut identik, dengan dasar itu Rojas kemudian mengakui bahwa dia sendiri
yang membunuh kedua anaknya.
Sebuah lembaga sidik jari di bangun di Calcutta – India pada tahun 1897,
setelah Kantor Gubernur Jenderal mengesahkan peraturan yang mengatur bahwa sidik
jari harus digunakan dalam klasifikasi catatan kriminal. Azizul Haque dan Hem
Chandra Bose ahli sidik jari India yang bekerja di Lembaga Antropometri
Calcutta (Calcutta Anthropometric Bureau yang kemudian berubah menjadi
Fingerprint Bureau) berjasa sebagai pengembang utama dari suatu sistem
klasifikasi sidik jari yang kemudian diberi nama Sistem Klasifikasi Henry
(sesuai nama atasan dari kedua pegawai tersebut, yaitu Sir Edward Richard Henry).
Sistem Klasifikasi Henry (yang sebenarnya dikembangkan bersama Haque dan Bose)
diterima di Inggris ketika Lembaga Sidik Jari Inggris (United Kingdom
Fingerprint Bureau) didirikan pertama kali di bawah naungan Scotland Yard
(Kepolisian Kota Metopolitan London) pada tahun 1901. Henry kemudian melakukan
pengembangan terhadap sistem klasifikasi tersebut yang kemudian dikenal dengan
nama daktiloskopi (dactyloscopy).
Di Amerika Serikat, Dr.Henry P.DeForrest menggunakan metode identifikasi sidik
jari di Kantor Catatan Sipil pada tahun 1902, kemudian pada Desember 1905 Wakil Kepala Kepolisian Kota New York, Joseph
A.Faurot (salah seorang ahli sistem
sidik jari Bertillon dan juga sebagai salah seorang penasehat kepolisian)
memperkenalkan identifikasi sidik jari untuk pelaku kejahatan.
DNA
Sir Alec Jefferys menemukan bahwa variasi kode genetik dapat digunakan
untuk mengidentifikasi setiap individu dari individu lainnya, yang dikenal
dengan nama identifikasi sidik jari DNA. Metode identifikasi tersebut pertama
kali digunakan pada tahun 1984. Aplikasi pertama metode ini dalam pengungkapan
kasus kejahatan pertama kali dilakukan oleh Jeffery terhadap kasus pembunuhan
ganda di Narborough – Leicestershire (kota kecil di Inggris) yang terjadi pada
tahun 1983. Seorang anak sekolah perempuan, umur 15 tahun, yang bernama Lynda
Mann diperkosa dan dibunuh di Rumah Sakit Jiwa Carlton Hayes. Polisi tidak
menemukan tersangka, hanya menemukan barang bukti cairan mani (semen).
Pada tahun 1986, seorang anak umur 15 tahun bernama Dawn Ashworth di
perkosa dan dicekik hingga mati di sebuah pedesaan di dekat Endeby. Bukti-bukti
forensik menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan di Narborough sama dengan
pembunuhan di Endeby ini, karena memiliki golongan darah yang sama. Richard
Buckland, seorang pegawai di rumah sakit jiwa Carlton Hayes menjadi tersangka
dalam kasus ini, dimana yang bersangkutan tinggal tidak jauh dari tempat kejadian
perkara pembunuhan Dawn dan mengetahui secara rinci seluk-beluk mayat tersebut.
Buckland kemudian mengaku membunuh Dawn, tetapi tidak terhadap Lynda.
Sir Alec Jefferys kemudian melakukan analisis DNA terhadap barang bukti
cairan mani yang ditemukan pada kasus pembunuhan Lynda dan membandingkannya
dengan DNA Buckland. Hasil analisis menunjukkan bahwa DNA dari barang bukti
tersebut tidak identik dengan DNA Buckland. Atas dasar pembuktian tersebut
Buckland dibebaskan dan dia merupakan orang pertama yang dibebaskan dari
tuduhan bersalah atas dasar hasil analisis DNA. Jeffery menegaskan bahwa profil
DNA barang bukti cairan mani yang ditemukan pada kedua korban pembunuhan (Dawn
dan Lynda) tidak sama. Untuk menemukan pelaku, DNA dari keseluruhan populasi
pria yang berumur antara 17 – 34 tahun
yang tinggal di desa tersebut dikumpulkan (lebih dari 4.000 orang),
kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan DNA dari cairan mani barang bukti.
Seorang teman Colin Pitchfork bercerita kepada seseorang bahwa dia telah
memberikan sampel darah untuk pemeriksaan DNA kepada polisi dan mengaku bahwa
sampel tersebut adalah milik Colin. Orang tersebut kemudian membawa Colin ke
Polisi untuk diperiksa. Pada tahun 1987 Colin Pitchfork ditahan karena profil
DNA nya identik dengan profil DNA cairan mani yang ditemukan pada kedua korban
pembunuhan.
Pembelajaran dari kejadian tersebut menjadi dasar lahirnya basis-data DNA.
Saat ini sudah ada basis-data DNA dalam lingkup nasional (seperti yang
dikembangkan FBI), maupun internasional seperti yang dikembangkan oleh
negara-negara eropa (ENFSI). Basis-data DNA ini digunakan untuk pencocokan
profil DNA dari barang bukti biologis yang ditemukan tempat kejadian perkara
dengan profil DNA yang sudah ada di dalam basis-data tersebut.
Pendewasaan
Polisi membawa semua teknik mutakhir ilmu forensik dalam upayanya untuk
mengidentifikasi dan menangkap pelaku pembunuhan berantai yang dikenal dengan
nama “Jack the Ripper”.
Kembali ke abad 19, ilmu forensik telah berpengaruh luas dalam dunia
penyidikan kejahatan. Pemeriksaan dan pembedahan ilmiah telah digunakan secara
luas oleh Kepolisian Kota Besar Kota London dalam upaya pencarian “Jack the
Riper”, yang melakukan pembunuhan berantai terhadap beberapa orang
wanita-tuna-susila pada tahun 1880-an. Kasus ini merupakan titik yang
menentukan dalam aplikasi ilmu forensik. Kelompok-kelompok polisi mendatangi setiap rumah di dalam
daerah Whitechapel, dimana kejadian pembunuhan berantai tersebut terjadi.
Bukti-bukti forensik dikumpulkan kemudian diuji. Tersangka diidentifikasi,
dijejaki, diperiksa secara mendalam atau dibebaskan apabila dianggap tidak
terkait dengan kasus tersebut. Polisi saat ini mengikuti pola kerja tersebut.
Lebih dari 2.000 orang diwawancarai, sekitar 300 orang disidik dan 80 orang
ditahan.
Penyidikan pada awalnya dilakukan oleh Bagian Reserse Kriminal (Criminal Investigation Department, CID)
yang dikepalai oleh Inspektur Edmund Reid. Tidak lama kemudian tiga orang
anggota reserse, Frederick Abberline,
Henry Moore dan Walter Andrews dikirim dari Scotland Yard untuk membantu
penyidikan. Pada awalnya, tersangka diduga adalah orang yang berkerja sebagai tukang
daging atau dokter bedah. Dugaan ini didasarkan pada keahlian tersangka dalam
melakukan mutilasi (pemotongan bagian-bagian tubuh) korbannya. Alibi dari para
tukang daging dan tukang jagal diperiksa secara saksama kebenarannya, hasilnya
ternyata mereka dapat dieleminasi dari daftar tersangka. Beberapa tokoh pada
zaman itu memikirkan mengenai pola dari pembunuhan tersebut yang menunjukkan
bahwa pelaku adalah seorang tukang daging atau pengumpul hewan ternak pada
salah satu kapal pengangkut hewan yang beroperasi antara London dan daratan
utama Eropa. Whitechapel terletak dekat demaga London, dan biasanya kapal
pengangkut hewan tersebut berlabuh di dermaga tersebut hari Kamis atau Jumat
dan berangkat pada pada hari Sabtu atau Minggu. Kapal pengangkut hewan ternak
tersebut kemudian diperiksa, tetapi tanggal kejadian pembunuhan tersebut tidak
bertepatan dengan pergerakan dari salah satu kapal tersebut, dan pemindahan
awak antar kapal juga diatur.
Pada akhir Oktober, Robert Anderson meminta seorang ahli bedah dari
Kepolisian yang bernama Thomas Bond
untuk menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan keterampilan dan pengetahuan
pelaku pembunuhan tersebut dalam melakukan mutilasi. Pendapat yang disampaikan
oleh Bond mengenai karakter pelaku
pembunuhan di Whitechapel merupakan penggambaran profil pelaku kejahatan
(offender profile) yang pertama kali dilakukan di dunia (sekarang ini penilaian
karakter pelaku kejahatan melalui cara kerja pelaku dalam melakukan
kejahatannya merupakan salah satu upaya dalam mengungkapkan suatu tindak
kejahatan). Penilaian karakter yang dilakukan Bond dalam hal ini didasarkan
pada hasil pengujian yang diperoleh dari
korban pembunuhan yang termutilasi parah serta catatan pasca kematian
dari empat kasus pembunuhan sebelumnya. Menurut pendapat Bond, pelaku
pembunuhan di Whitechapel adalah seorang laki-laki yang mepunyai kebiasaan
hidup menyendiri dan sangat tertarik kepada hal-hal yang bersifat erotik
(membangkitan syahwat), dengan karakter dari mutilasi yang dilakukannya
menunjukkan kemungkinan pelaku mempunyai sifat “satyriasis”. Bond juga
menyatakan bahwa ransangan (impuls) membunuh mungkin berkembang dari kondisi
perasaan dendam atau sedih yang memuncak di dalam pikiran, atau mungkin juga
dipicu oleh maniak keagamaan.
Buku forensik yang ditulis oleh seorang hakim kasus kriminal dari
Australia, Hans Gross, pada tahun 1893 berjudul “ Handbook for Coroners, Police Official, Military Policemen” (Pedoman
untuk Dokter Forensik, Petugas Polisi dan Polisi Militer), secara umum dianggap
sebagai cikal-bakal lahirnya bidang kriminalistik. Pekerjaan digabungkan dalam
satu sistem bidang pengetahuan yang sebelumnya belum terintegrasi, seperti
psikologi dan ilmu pengetahuan alam, yang sukses digunakan melawan kejahatan.
Gross berupaya menyesuaikan beberapa bidang pengetahuan dengan kebutuhan dalam
dunia investigasi kriminal, seperti bidang fotografi tempat kejadian perkara.
Pada tahun 1912, Gross berhasil mendirikan “Institute
Criminalistics” (Institut Kriminalistik) sebagai bagian dari “University of Graz Law School”. Pendirian institut kriminalistik ini kemudian
menjadi referensi pendirian instuitut serupa di berbagai belahan dunia.
Pada tahun 1909, Archibald Reiss mendirikan “Institut de Police Scientifique” di bawah naungan University of Lausanne (UNIL) yang
merupakan sekolah ilmu forensik yang pertama di dunia. Dr.Edmund Locard seorang
ilmuan forensik dari Perancis yang dikemudian dikenal sebagai “Sherlock Holmes”
(tokoh dalam cerita fiksi ilmiah populer yang umumnya bercerita tentang
penyelidikan kasus-kasus kriminal) dari
Perancis. Holmes memformulasikan suatu dasar teori dalam ilmu forensik yang
dikenal sebagai “Locard’s Exchange
Principle” (Prinsip Pertukaran Locard), yang menyatakan bahwa “Setiap Sentuhan
Meninggal Jejak”. Pada tahun 1910, Locard berhasil mengajak kerjasama dengan
Kepolisian Kota Lyon (Perancis) dan mendirikan sebuah laboratorium kriminal,
yang merupakan laboratorium kriminal pertama di dunia. Dia diberi dua buah
ruangan di loteng serta dua orang pembantu.
Secara simbolis prestise temuan baru dalam dunia forensik serta penggunaan
nalar dalam dunia kerja penyidik tergambar dalam popularitas dari karakter
fiksi dalam novel Sherlock Holmes yang
ditulis oleh Arthur Conan pada akhir abad 19. Dia memberikan inspirasi yang
hebat terhadap perkembangan ilmu forensik, khususnya terhadap bidang studinya
yang tajam mengenai tempat kejadian perkara dimana bisa ditemukan
petunjuk-petunjuk kecil yang bisa menggambarkan rangkaian kejadian secara
tepat. Dia membuat terobasan dengan memanfaatkan barang bukti – barang bukti
kecil (trace evidence) seperti jejak tapak sepatu dan ban mobil, demikian pula
analisis sidik jari, balistik dan tulisan tangan (sekarang dikenal sebagai
pengujian dokumen yang dipertanyakan). Barang bukti kecil semacam ini digunakan
untuk menguji teori persangkaan yang diajukan oleh Polisi atau oleh penyidik
itu sendiri. Semua teknik-teknik yang diperkenalkan oleh Holmes tersebut
belakangan menjadi realitas di dunia forensik, tetapi umumnya terinspirasi dari
cerita Conan Doyle. Pada kebanyakan kasus yang dilaporkannya, Holmes seringkali
mengeluhkan dimana tempat kejadian
perkara (TKP) telah terkontaminasi, khususnya karena ulah polisi itu sendiri,
serta menegaskan pentingnya menjaga keutuhan TKP, dimana hal ini sekarang
menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan dalam pengujian
(pemeriksaan) tempat kejadian perkara. Holmes menggunakan kimia analisis untuk
menganalisis residu darah, demikian pula toksikologi untuk pengujian dan
penentuan racun-racun. Dia menggunakan ilmu balistik untuk mengukur kaliber
anak peluru dan mencocokkannya dengan senjata yang diduga digunakan membunuh.
Akhir Abad 19 hingga Awal Abad 20
Hans Gross menerapkan metode-metode ilmiah untuk pengujian (pemeriksaan)
tempat kejadian perkara dan memberikan peran yang besar terhadap lahirnya ilmu
kriminalistik.
Edmond Locard mengembangkan hasil kerja Gross dan kemudian melahirkan
“Prinsip Pertukaran Locard” (Locard’s Exhange Principle) yang menyatakan bahwa
“ Ketika dua buah obyek saling bersentuhan satu sama lain, materi yang ada pada
keduanya juga akan saling bertukar. Hal ini berarti bahwa setiap kontak yang
dilakukan oleh seorang pelaku kriminal akan meninggalkan bekas (jejak). Locard
dikenal juga sebagai Sherlock Holmes-nya Perancis.
Alexande Lacassagne, gurunya Locard, membuat prosedur otopsi standar pada
kasus-kasus forensik aktual.
Alphonse Bertillon seorang ahli kriminologi dari Perancis dan dianggap
sebagai penemu Anthropometry (ilmu yang mempelajari bagian-bagian dari tubuh
manusia serta ukuran-ukurannya). Dia menggunakan anthropometry untuk keperluan
identifikasi manusia. Dia berpendapat bahwa setiap individu itu unik dan dapat
diidentifikasi melalui perbedaan ukuran-ukuran fisiknya, dengan perbedaan
ukuran tersebut sistem identifikasi personal dapat dibuat. Dia membuat Sistem
Identifikasi Bertillon pada tahun 1879, melalui sistem tersebut pelaku kriminal
dan penduduk dapat diidentfikasi dengan melakukan
pengukuran pada 20 bagian tubuh. Pada tahun
1884, ada lebih dari 240 orang residivis yang tertangkap melalui sistem
tersebut. Belakangan terbukti bahwa sistem sidik jari lebih dapat diandalkan dibandingkan
dengan Sistem Bertillon.
Pada akhir abad 20 beberapa ahli pathology dari Inggris, Mikey Rochman,
Francis Camps, Sydney Smith dan Keith Simpson mempelopori penggunaan
metode-metode baru dalam ilmu forensik.