Selasa, 11 Oktober 2016

PENGENALAN ILMU FORENSIK

PENDAHULUAN
Difinisi Forensik
Berbagai referensi menjelaskan bahwa “forensik” (dalam Bahasa Inggris, “forensic”) berasal dari akar kata “forensis” (bahasa latin), yang berarti “ untuk atau sebelum forum”. Istilah forensik ini bermula muncul pada zaman Romawi, dimana suatu tuntutan kejahatan disampaikan sebelum persoalan tersebut di bicarakan di “forum”. Pada masa itu, “forum” merupakan tempat yang digunakan untuk menyampaikan pidato (tempat pertemuan), pertarungan gladiator (gedung olah raga) serta pengadilan. Kedua belah pihak, baik tertuduh maupun yang menuduh diberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan berkaitan dengan kasus tersebut menurut versi masing-masing. Keputusan akan berpihak kepada siapa saja yang dapat menyampaikan penjelasan paling baik dan rasional. Asal mula terminologi forensik tersebut merupakan sumber dari dua penggunaan moderen dari  kata “forensik”, yaitu sebagai suatu bentuk bukti legal dan presentasi publik. Di dalam penggunaan moderen, terminologi “forensik” dapat berarti “ilmu forensik” atau dapat juga dimaknai sebagai sinonim dari istilah “legal” atau “yang berhubungan dengan pengadilan”. Namun demikian, istilah “forensik” saat ini  di dalam banyak kamus lebih cenderung dimaknai sebagai bidang keilmuan atau ilmu forensik.
Ilmu forensik merupakan aplikasi ilmu pengetahuan untuk tujuan pengungkapan kasus-kasus kejahatan, maupun kasus-kasus perdata. Dalam proses penyidikan, ahli forensik bertugas mengumpulkan, mengawetkan serta menganalisis barang bukti dengan menggunakan metode ilmiah. Sebagian dari para ahli tersebut mempunyai tugas melakukan pengolahan tempat kejadian perkara dan sebagian lagi melakukan analisis secara laboratoris terhadap barang bukti tersebut. Selain itu, para ahli forensik juga mempunyai tugas sebagai “saksi ahli” baik untuk perkara pidana maupun perterdata yang mereka periksa, dan hasil kerja mereka mungkin saja berpihak kepada pihak penuntut, atau mungkin kepada yang dituntut bergantung kepada pihak mana yang didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang disajikan oleh para ahli forensik tersebut. Ilmu forensik berkembang dari waktu ke waktu untuk menjawab kasus-kasus yang membutuhkan pembuktian forensik. Mengingat pentingnya peranan para ahli forensik dalam pengungkapan kasus-kasus kejahatan maupun perdata, maka mereka harus memiliki integritas yang tinggi, serta dipandu oleh petunjuk kerja dan aturan etik yang ketat dalam pelaksanaan tugasnya.
Sejarah Ilmu Forensik    
Pada zaman kuno penggunaan ilmu forensik untuk membantu pengungkapan kasus-kasus kejahatan boleh dikatakan tidak ada, hal ini memberikan peluang yang besar dimana para pelaku kejahatan terbebas dari tuntutan dan hukuman. Penyidikan kasus-kasus kejahatan masih bertumpu pada upaya penekanan tersangka untuk memberikan pengakuan serta keterangan saksi mata. Namun demikian, pada beberapa abad yang lalu telah muncul beberapa konsep ilmu forensik yang menjadi cikal bakal ilmu forensik moderen saat ini.
Archimedes (287-212 SM) menemukan metode untuk menentukan volume suatu benda yang bentuknya tidak beraturan. Sejarah penemuan tersebut bermula ketika seorang pembesar kerajaan Romawi yang bernama Vitruvius, memerintahkan seorang pengrajin emas untuk membuat mahkota yang terbuat dari emas untuk raja Hiero II, dimana si pembesar tersebut telah memberikan sejumlah emas murni sebagai bahan untuk pembuatan mahkota raja dimaksud. Setelah mahkota raja selesai, sang pembesar Romawi tersebut menaruh curiga kepada sang pengrajin emas mengenai kemungkinan dia mengganti sebagain emas tersebut dengan perak. Untuk membuktikan kecurigaannya, sang pembesar kerajaan meminta Archimedes untuk melakukan pemeriksaan terhadap mahkota raja itu. Dengan berbagai upaya akhirnya Archimedes dapat membuktikan bahwa sang pengrajin emas telah berlaku tidak jujur dalam pembuatan mahkota raja, yaitu dengan mengganti sebagian emas dengan perak. Pembuktian tersebut dilakukan Archimedes dengan melakukan pemeriksaan terhadap mahkota raja tersebut tanpa merusaknya sedikitpun. Archimedes tidak perlu melelehkan mahkota tersebut untuk dapat menetapkan berat jenis dari bahan yang digunakan untuk pembuatannya, cukup dengan mencelupkan mahkota tersebut ke dalam air, kemudian mengukur volume air yang dipindahkannya. Proses penentuan berat jenis yang dilakukan oleh Archimedes untuk membuktikan tingkat kemurnian emas yang digunakan dalam pembuatan mahkota raja dapat diillustrasikan melalui gambar berikut :

Song Ci (1186 – 1249 SM) seorang penulis pada masa Dinasti Song di Cina, pada tahun 1248  menulis buku berjudul Xi Yuan Lu (membersihkan kesalahan) yang menjelaskan tentang penggunaan ilmu kedokteran dan entomologi (ilmu tentang metamorfose serangga) untuk mengungkapkan kasus-kasus kriminal. Salah satu yang kisah nyata pada masa itu yang diuraikan dalam buku tersebut adalah kisah dimana seseorang yang dibunuh dengan menggunakan sabit (arit) yang berhasil diungkapkan oleh penyidik, dimana penyidik menginstruksikan setiap orang di desa itu untuk membawa sabitnya ke suatu lokasi. Penyidik tersebut  mengetahui bahwa korban dibunuh dengan menggunakan sabit, karena dia sudah mencoba melukai bangkai binatang  dengan berbagai jenis senjata tajam dan membandingkan bentuk perlukaannya dengan bentuk luka dari korban. Pada saat semua sabit sudah terkumpul di tempat yang ditentukan, ada sebuah sabit yang dikerubuti lalat, yang membuktikan bahwa pada sabit tersebut terdapat noda darah. Dengan cara itu penyidik dapat menetapkan bahwa pemilik sabit yang dikerubuti lalat tersebut adalah tersangka pembunuh. Di dalam buku tersebut juga terdapat penjelasan bagaimana cara membedakan antara orang yang mati tenggelam (terdapat air di dalam paru-parunya) dengan orang yang mati dicekik (tulang leher patah), serta bukti-bukti lain yang diperoleh dari pengujian (pemeriksaan) mayat dalam upaya untuk menentukan penyebab kematian akibat pembunuhan, bunuh diri atau suatu kecelakaan.
Berbagai metode uji kebohongan dari seluruh penjuru dunia sebagai cikal-bakal dari uji polygraph yang digunakan saat ini. Pada zaman kuno di India, para tersangka diisi mulutnya dengan beras kering, kemudian disuruh ke luarkan dengan cara meludah. Hal yang sama juga dilakukan di Cina, tersangka pelaku kejahatan, diisi mulutnya tepung beras. Sedangkan di Timur Tengah, tersangka disuruh menjilat dengan cepat sebatang logam panas. Semua uji tersebut di atas dipikir memiliki validitas, karena orang yang bersalah akan memproduksi air liur lebih sedikit , sehingga rongga mulutnya lebih kering, sehingga tersangka dapat dinyatakan bersalah jika  banyak beras kering yang melengket di dalam mulutnya atau untuk kasus kedua jika lidah tersangka mengalami luka bakar yang parah yang disebabkan kurangnya air liur yang melindungi lidahnya dari benda panas yang dijilatnya.
Pada abad-16 di Eropa, para praktisi medis dari institusi militer dan universitas mulai mengumpulkan informasi bersama berkaitan dengan penyebab dan cara kematian. Ambroise Pare, seorang seorang ahli bedah tentara dari Perancis, secara sistematis mempelajari efek-efek kekerasan yang mematikan terhadap organ-organ dalam manusia. Dua orang ahli bedah dari Italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zacchia, telah meletakkan dasar-dasar pathology moderen dengan mempelajari perubahan yang terjadi pada struktur tubuh akibat penyakit. Pada akhir abad-18, tulisan mengenai topik ini mulai muncul, diantaranya A Treatise on Forensic Medicine and Public Health (Risalah Forensik Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat) yang ditulis oleh seorang dokter Perancis “Francois Immanuele Fodere” dan The Complete System of Police Medicine (Sistem Lengkap Kedokteran Kepolisian) yang ditulis oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman, “Johann Peter Frank”.
Sejalan dengan meningkatnya pemikiran rasional dan peradaban manusia, pada abad 18, penyidikan kasus-kasus kejahatan  sudah lebih banyak didasarkan pada barang bukti dan prosedur  rasional. Penggunaan cara-cara penyiksaan untuk memaksakan pengakuan sudah dibatasi, dan kepercayaan terhadap ilmu gaib sudah banyak berkurang pengaruhnya terhadap keputusan pengadilan. Ada dua contoh laporan penanganan masalah hukum yang terkait dengan pembuktian forensik di Inggris yang menunjukkan meningkatnya penggunaan prosedur logis dalam penyidikan kasus kriminal pada waktu itu. Pada tahun 1784 di Lancester, John Toms menjadi tersangka pembunuhan Edward Culshaw dengan menggunakan pistol. Pada saat mayat Culshaw diperiksa ditemukan sisa kertas (yang digunakan untuk membersihkan sisa mesiu pada moncong pistol)  pada luka kepala korban, dimana sisa kertas tersebut sama persis dengan sobekan kertas koran yang ada di saku baju tersangka (Toms). Dengan dasar barang bukti tersebut Tom diputuskan bersalah sebagai pelaku pembunuhan itu. Kasus kedua terjadi pada tahun 1816 di Warwick, seorang pekerja (buruh) tani menjadi tersangka pembunuhan seorang wanita muda pembantu rumah tangga. Wanita tersebut ditenggelamkan di dalam kolam yang dangkal dan meninggalkan bekas-bekas perkosaan dengan kekerasan. Polisi menemukan jejak kaki dan bekas pakaian yang dipakai pelaku pada tanah basah di dekat kolam. Selain itu, juga ditemukan ceceran biji gandum dan dedak. Penyidik kemudian melakukan pengujian dengan mencocokkan jejak pakaian yang ditemukan di tanah tersebut dengan bekas pakaian tersangka yang digunakan dalam pekerjaan merontokkan biji gandum tidak jauh dari lokasi ditemukannya mayat korban. Hasilnya, jejak tersebut sangat bersesuaian dengan celana yang digunakan tersangka.

Toksikologi dan balistik   
Suatu metode untuk mendeteksi senyawa arsen (arsen oksida) pada jenazah telah ditemukan pada tahun 1773 oleh seorang ahli kimia Swedia yang bernama “Carl Wilhelm Scheele”. Penemuan ini kemudian dikembangkan oleh “Valentin Ross” (ahli kimia Jerman), yang mempelajari cara mendeteksi racun yang terdapat pada lambung korban. James Marsh merupakan orang pertama yang mengaplikasikan metode pendeteksian ini dalam konteks forensik. Marsh diminta oleh hakim pada suatu peradilan kasus pembunuhan sebagai saksi ahli pada tahun 1832. John Bodle didakwa meracuni neneknya dengan racun arsen yang dimasukkan ke dalam minuman kopi. Marsh kemudian melakukan pengujian sesuai dengan metode yang dikembangkan Ross, yaitu dengan menambahkan contoh (barang bukti) yang diduga mengandung arsen dengan hidrogen sulfida (H2S) dan hidrogen khlorida (HCl). Walaupun Marsh mampu mendeteksi adanya arsen dalam contoh tersebut dengan terbentuknya arsen-tri sulfida (As2S3)  yang berwarna kuning, tetapi ketika senyawa yang berwarna kuning tersebut ditunjukkan ke hakim, warnanya sudah mengalami perubahan (memudar  karena reaksi oksdidasi). Hal ini menimbulkan keraguan hakim, sehingga tersangka dibebaskan dari hukuman.
Termotivasi dari kejadian itu, Mars kemudian mengembangkan metode deteksi yang lebih baik. Dia mencampurkan contoh (barang bukti) yang diduga mengandung arsen dengan asam sulfat (H2SO4) dan lempengan logam seng (Zn), campuran tersebut bereaksi menghasilkan gas arsin (AsH3). Apabila gas tersebut dipanaskan (dipijarkan), akan terurai menjadi logam arsen (As), dimana uap logam arsen ini apabila dilewatkan pada permukaan yang dingin, maka akan berubah menjadi endapan (deposit) berwarna hitam keperakan. Metode deteksi ini sangat peka, mampu mendeteksi kandungan arsen dengan batas terkecil sampai 0,02 mg arsen. Metode  deteksi ini dikenal dengan nama Marsh test (sesuai dengan nama penemunya), pertama kali dipublikasikan di dalam majalah ilmiah The Edinburgh Philosophical Journal pada tahun 1863.
Henry Goddard dari dinas Kepolisian Inggris (Scotland Yard) merupakan orang pertama yang menggunakan metode perbandingan untuk peluru (bullet comparison) pada tahun 1835. Dia mencatat suatu cacat pada anak peluru yang membunuh korban dan mampu menjejaki pada pabrik peluru mana peluru tersebut diproduksi (berdasarkan cacat pada cetakan anak peluru).

Antropometri  
Alphonse Bertillon, seorang anggota Kepolisian Perancis, merupakan orang yang pertama menerapkan metode antropometri dalam penegakan hukum, yaitu dengan membuat sistem identifikasi berdasarkan pengukuran fisik orang. Sebelum itu, para pelaku kejahatan hanya diidentifikasi dengan nama atau foto saja. Karena ketidak-puasannya terhadap metode identifikasi yang ada saat itu, dia mulai mengembangkan sistem antropometri untuk mengklasifikasikan bentuk-bentuk fisik manusia.
Bertillon juga banyak membuat teknik-teknik forensik yang lain, termasuk pengujian forensik dokumen, penggunaan bahan galvanoplastik untuk mengawetkan jejak kaki, balistik, serta dinamometer yang digunakan untuk menentukan kekuatan merusak dan menembus suatu benda terhadap suatu obyek. Meskipun, metode yang identifikasi manusia yang dikembangkannya kemudian segera tergantikan oleh metode identifikasi sidik jari, beberapa metode dan teknik pemeriksaan forensik yang dikembangkannya, seperti peralatan uji tembak dan sistematisasi fotografi tempat kejadian perkara masih tetap digunakan hingga sekarang.
William Herschel, seorang pengacara asal Inggris merupakan orang yang pertama kali menggunakan sidik jari untuk mengidentifikasi tersangka pelaku kriminal. Dia mulai mengembangkan metode identifikasi sidik jari tersebut ketika bekerja di kantor catatan sipil di India dan mulai menggunakan sidik jari (sidik jari ibu-jari) pada tahun 1858 pada dokumen, untuk mengamankan dokumen tersebut dari penyangkalan terhadap tanda-tangan pemiliknya. Pada tahun 1877, Herschel, melembagakan penggunaan sidik jari pada kontrak dan akte di Hooghly (dekat Calcutta), serta membuat daftar sidik jari pensiunan pegawai pemerintah untuk mencegah pengambilan uang pensiun secara illegal oleh keluarganya ketika yang bersangkutan sudah meninggal.
Pada tahun 1880, Dr.Henry Faulds, seorang dokter bedah berkembangsaan Skotlandia yang bekerja di sebuah Rumah Sakit di Tokyo, mempublikasikan tulisan ilmiah pertamanya pada jurnal ilmiah (Nature), yang membahas tentang kegunaan sidik jari untuk identifikasi, serta mengusulkan suatu metode untuk merekam sidik jari tersebut menggunakan tinta cetak.  Faulds menetapkan klasifikasi pertamanya serta dia juga yang pertama kali mengidentifikasi sidik jari yang tertinggal pada sebuah botol kaca. Ketika dia kembali ke Inggris pada tahun 1886, dia menawarkan konsep tersebut kepada Kepolisian Kota London, tetapi konsep tersebut ditolak pada waktu itu.
Faulds kemudian mengirim surat kepada Charles Darwin dan menjelaskan tentang metode identifikasi temuannya, tetapi pada waktu itu kondisi Darwin sudah tua dan sakit-sakitan sehingga dia memberikan informasi dari Faulds tersebut kepada sepupunya yang bernama Francis Galton, yang tertarik dengan bidang antropologi. Terinspirasi dengan konsep tersebut, dia mempelajarinya selama kurang lebih sepuluh tahun, kemudian mempublikasikan suatu model statistik lengkap dari analisis sidik jari dan mengusulkan serta mendorong penggunaan metode identifikasi tersebut dalam dunia forensik melalui buku yang ditulisnya berjudul Sidik Jari  (Finger Prints). Berdasarkan perhitungannya, peluang untuk adanya dua orang yang memiliki sidik jari yang persis sama adalah sekitar 1 dalam 64 milyar orang. 
Juan Vucetich seorang perwira polisi Argentina yang telah mempelajari pola sidik jari yang diusulkan Galton, menggunakan metode tersebut pertama kalinya  untuk merekam sidik jari perorangan ke dalam suatu file pada tahun 1892. Vecetich merupakan orang pertama di dunia yang mengembangkan lembaga sidik jari. Pada tahun yang sama, Francisca Rojas  ditemukan di sebuah rumah  di Necochea ( sebuah kota pelabuhan di Argentina) dengan luka-luka pada lehernya bersama dua orang anaknya yang  meninggal dengan leher terpotong. Rojas menuduh salah seorang tetangganya sebagai pelaku pembunuhan itu, tetapi meskipun penyidik sudah melakukan interogasi dengan kasar, namun si tersangka tetap saja tidak mau mengakui tindak kejahatan tersebut. Inpektur Polisi Alvares, salah seorang teman dekat Vucetich memeriksa tempat kejadian perkara dan menemukan bekas sidik ibu jari dari darah yang terbentuk di sebuah pintu di rumah itu. Ketika pola sidik jari tersebut dibandingkan dengan pola sidik jari milik Roja, diketahui bahwa kedua pola sidik jari tersebut identik, dengan dasar itu Rojas kemudian mengakui bahwa dia sendiri yang membunuh kedua anaknya.
Sebuah lembaga sidik jari di bangun di Calcutta – India pada tahun 1897, setelah Kantor Gubernur Jenderal mengesahkan peraturan yang mengatur bahwa sidik jari harus digunakan dalam klasifikasi catatan kriminal. Azizul Haque dan Hem Chandra Bose ahli sidik jari India yang bekerja di Lembaga Antropometri Calcutta (Calcutta Anthropometric Bureau yang kemudian berubah menjadi Fingerprint Bureau)  berjasa  sebagai pengembang utama dari suatu sistem klasifikasi sidik jari yang kemudian diberi nama Sistem Klasifikasi Henry (sesuai nama atasan dari kedua pegawai tersebut, yaitu Sir Edward Richard Henry). Sistem Klasifikasi Henry (yang sebenarnya dikembangkan bersama Haque dan Bose) diterima di Inggris ketika Lembaga Sidik Jari Inggris (United Kingdom Fingerprint Bureau) didirikan pertama kali di bawah naungan Scotland Yard (Kepolisian Kota Metopolitan London) pada tahun 1901. Henry kemudian melakukan pengembangan terhadap sistem klasifikasi tersebut yang kemudian dikenal dengan nama daktiloskopi (dactyloscopy).
Di Amerika Serikat, Dr.Henry P.DeForrest menggunakan metode identifikasi sidik jari di Kantor Catatan Sipil pada tahun 1902, kemudian pada Desember 1905  Wakil Kepala Kepolisian Kota New York, Joseph A.Faurot  (salah seorang ahli sistem sidik jari Bertillon dan juga sebagai salah seorang penasehat kepolisian) memperkenalkan identifikasi sidik jari untuk pelaku kejahatan.

DNA
Sir Alec Jefferys menemukan bahwa variasi kode genetik dapat digunakan untuk mengidentifikasi setiap individu dari individu lainnya, yang dikenal dengan nama identifikasi sidik jari DNA. Metode identifikasi tersebut pertama kali digunakan pada tahun 1984. Aplikasi pertama metode ini dalam pengungkapan kasus kejahatan pertama kali dilakukan oleh Jeffery terhadap kasus pembunuhan ganda di Narborough – Leicestershire (kota kecil di Inggris) yang terjadi pada tahun 1983. Seorang anak sekolah perempuan, umur 15 tahun, yang bernama Lynda Mann diperkosa dan dibunuh di Rumah Sakit Jiwa Carlton Hayes. Polisi tidak menemukan tersangka, hanya menemukan barang bukti cairan mani (semen).
Pada tahun 1986, seorang anak umur 15 tahun bernama Dawn Ashworth di perkosa dan dicekik hingga mati di sebuah pedesaan di dekat Endeby. Bukti-bukti forensik menunjukkan bahwa pelaku pembunuhan di Narborough sama dengan pembunuhan di Endeby ini, karena memiliki golongan darah yang sama. Richard Buckland, seorang pegawai di rumah sakit jiwa Carlton Hayes menjadi tersangka dalam kasus ini, dimana yang bersangkutan tinggal tidak jauh dari tempat kejadian perkara pembunuhan Dawn dan mengetahui secara rinci seluk-beluk mayat tersebut. Buckland kemudian mengaku membunuh Dawn, tetapi tidak terhadap Lynda.
Sir Alec Jefferys kemudian melakukan analisis DNA terhadap barang bukti cairan mani yang ditemukan pada kasus pembunuhan Lynda dan membandingkannya dengan DNA Buckland. Hasil analisis menunjukkan bahwa DNA dari barang bukti tersebut tidak identik dengan DNA Buckland. Atas dasar pembuktian tersebut Buckland dibebaskan dan dia merupakan orang pertama yang dibebaskan dari tuduhan bersalah atas dasar hasil analisis DNA. Jeffery menegaskan bahwa profil DNA barang bukti cairan mani yang ditemukan pada kedua korban pembunuhan (Dawn dan Lynda) tidak sama. Untuk menemukan pelaku, DNA dari keseluruhan populasi pria yang berumur antara 17 – 34 tahun  yang tinggal di desa tersebut dikumpulkan (lebih dari 4.000 orang), kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan DNA dari cairan mani barang bukti.
Seorang teman Colin Pitchfork bercerita kepada seseorang bahwa dia telah memberikan sampel darah untuk pemeriksaan DNA kepada polisi dan mengaku bahwa sampel tersebut adalah milik Colin. Orang tersebut kemudian membawa Colin ke Polisi untuk diperiksa. Pada tahun 1987 Colin Pitchfork ditahan karena profil DNA nya identik dengan profil DNA cairan mani yang ditemukan pada kedua korban pembunuhan.
Pembelajaran dari kejadian tersebut menjadi dasar lahirnya basis-data DNA. Saat ini sudah ada basis-data DNA dalam lingkup nasional (seperti yang dikembangkan FBI), maupun internasional seperti yang dikembangkan oleh negara-negara eropa (ENFSI). Basis-data DNA ini digunakan untuk pencocokan profil DNA dari barang bukti biologis yang ditemukan tempat kejadian perkara dengan profil DNA yang sudah ada di dalam basis-data tersebut.

Pendewasaan
Polisi membawa semua teknik mutakhir ilmu forensik dalam upayanya untuk mengidentifikasi dan menangkap pelaku pembunuhan berantai yang dikenal dengan nama “Jack the Ripper”.
Kembali ke abad 19, ilmu forensik telah berpengaruh luas dalam dunia penyidikan kejahatan. Pemeriksaan dan pembedahan ilmiah telah digunakan secara luas oleh Kepolisian Kota Besar Kota London dalam upaya pencarian “Jack the Riper”, yang melakukan pembunuhan berantai terhadap beberapa orang wanita-tuna-susila pada tahun 1880-an. Kasus ini merupakan titik yang menentukan dalam aplikasi ilmu forensik. Kelompok-kelompok  polisi mendatangi setiap rumah di dalam daerah Whitechapel, dimana kejadian pembunuhan berantai tersebut terjadi. Bukti-bukti forensik dikumpulkan kemudian diuji. Tersangka diidentifikasi, dijejaki, diperiksa secara mendalam atau dibebaskan apabila dianggap tidak terkait dengan kasus tersebut. Polisi saat ini mengikuti pola kerja tersebut. Lebih dari 2.000 orang diwawancarai, sekitar 300 orang disidik dan 80 orang ditahan.
Penyidikan pada awalnya dilakukan oleh Bagian Reserse Kriminal (Criminal Investigation Department, CID) yang dikepalai oleh Inspektur Edmund Reid. Tidak lama kemudian tiga orang anggota reserse, Frederick Abberline, Henry Moore dan Walter Andrews dikirim dari Scotland Yard untuk membantu penyidikan. Pada awalnya, tersangka diduga adalah orang yang berkerja sebagai tukang daging atau dokter bedah. Dugaan ini didasarkan pada keahlian tersangka dalam melakukan mutilasi (pemotongan bagian-bagian tubuh) korbannya. Alibi dari para tukang daging dan tukang jagal diperiksa secara saksama kebenarannya, hasilnya ternyata mereka dapat dieleminasi dari daftar tersangka. Beberapa tokoh pada zaman itu memikirkan mengenai pola dari pembunuhan tersebut yang menunjukkan bahwa pelaku adalah seorang tukang daging atau pengumpul hewan ternak pada salah satu kapal pengangkut hewan yang beroperasi antara London dan daratan utama Eropa. Whitechapel terletak dekat demaga London, dan biasanya kapal pengangkut hewan tersebut berlabuh di dermaga tersebut hari Kamis atau Jumat dan berangkat pada pada hari Sabtu atau Minggu. Kapal pengangkut hewan ternak tersebut kemudian diperiksa, tetapi tanggal kejadian pembunuhan tersebut tidak bertepatan dengan pergerakan dari salah satu kapal tersebut, dan pemindahan awak antar kapal juga diatur.
Pada akhir Oktober, Robert Anderson meminta seorang ahli bedah dari Kepolisian yang bernama Thomas Bond untuk menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan keterampilan dan pengetahuan pelaku pembunuhan tersebut dalam melakukan mutilasi. Pendapat yang disampaikan oleh Bond  mengenai karakter pelaku pembunuhan di Whitechapel merupakan penggambaran profil pelaku kejahatan (offender profile) yang pertama kali dilakukan di dunia (sekarang ini penilaian karakter pelaku kejahatan melalui cara kerja pelaku dalam melakukan kejahatannya merupakan salah satu upaya dalam mengungkapkan suatu tindak kejahatan). Penilaian karakter yang dilakukan Bond dalam hal ini didasarkan pada hasil pengujian yang diperoleh dari  korban pembunuhan yang termutilasi parah serta catatan pasca kematian dari empat kasus pembunuhan sebelumnya. Menurut pendapat Bond, pelaku pembunuhan di Whitechapel adalah seorang laki-laki yang mepunyai kebiasaan hidup menyendiri dan sangat tertarik kepada hal-hal yang bersifat erotik (membangkitan syahwat), dengan karakter dari mutilasi yang dilakukannya menunjukkan kemungkinan pelaku mempunyai sifat “satyriasis”. Bond juga menyatakan bahwa ransangan (impuls) membunuh mungkin berkembang dari kondisi perasaan dendam atau sedih yang memuncak di dalam pikiran, atau mungkin juga dipicu oleh maniak keagamaan.
Buku forensik yang ditulis oleh seorang hakim kasus kriminal dari Australia, Hans Gross, pada tahun 1893 berjudul “ Handbook for Coroners, Police Official, Military Policemen” (Pedoman untuk Dokter Forensik, Petugas Polisi dan Polisi Militer), secara umum dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya bidang kriminalistik. Pekerjaan digabungkan dalam satu sistem bidang pengetahuan yang sebelumnya belum terintegrasi, seperti psikologi dan ilmu pengetahuan alam, yang sukses digunakan melawan kejahatan. Gross berupaya menyesuaikan beberapa bidang pengetahuan dengan kebutuhan dalam dunia investigasi kriminal, seperti bidang fotografi tempat kejadian perkara. Pada tahun 1912, Gross berhasil mendirikan “Institute Criminalistics” (Institut Kriminalistik) sebagai bagian dari “University of Graz Law School”.  Pendirian institut kriminalistik ini kemudian menjadi referensi pendirian instuitut serupa di berbagai belahan dunia.
Pada tahun 1909, Archibald Reiss mendirikan “Institut de Police Scientifique” di bawah naungan University of Lausanne (UNIL) yang merupakan sekolah ilmu forensik yang pertama di dunia. Dr.Edmund Locard seorang ilmuan forensik dari Perancis yang dikemudian dikenal sebagai “Sherlock Holmes” (tokoh dalam cerita fiksi ilmiah populer yang umumnya bercerita tentang penyelidikan kasus-kasus kriminal)  dari Perancis. Holmes memformulasikan suatu dasar teori dalam ilmu forensik yang dikenal sebagai “Locard’s Exchange Principle” (Prinsip Pertukaran Locard), yang menyatakan bahwa “Setiap Sentuhan Meninggal Jejak”. Pada tahun 1910, Locard berhasil mengajak kerjasama dengan Kepolisian Kota Lyon (Perancis) dan mendirikan sebuah laboratorium kriminal, yang merupakan laboratorium kriminal pertama di dunia. Dia diberi dua buah ruangan di loteng serta dua orang pembantu.
Secara simbolis prestise temuan baru dalam dunia forensik serta penggunaan nalar dalam dunia kerja penyidik tergambar dalam popularitas dari karakter fiksi  dalam novel Sherlock Holmes yang ditulis oleh Arthur Conan pada akhir abad 19. Dia memberikan inspirasi yang hebat terhadap perkembangan ilmu forensik, khususnya terhadap bidang studinya yang tajam mengenai tempat kejadian perkara dimana bisa ditemukan petunjuk-petunjuk kecil yang bisa menggambarkan rangkaian kejadian secara tepat. Dia membuat terobasan dengan memanfaatkan barang bukti – barang bukti kecil (trace evidence) seperti jejak tapak sepatu dan ban mobil, demikian pula analisis sidik jari, balistik dan tulisan tangan (sekarang dikenal sebagai pengujian dokumen yang dipertanyakan). Barang bukti kecil semacam ini digunakan untuk menguji teori persangkaan yang diajukan oleh Polisi atau oleh penyidik itu sendiri. Semua teknik-teknik yang diperkenalkan oleh Holmes tersebut belakangan menjadi realitas di dunia forensik, tetapi umumnya terinspirasi dari cerita Conan Doyle. Pada kebanyakan kasus yang dilaporkannya, Holmes seringkali  mengeluhkan dimana tempat kejadian perkara (TKP) telah terkontaminasi, khususnya karena ulah polisi itu sendiri, serta menegaskan pentingnya menjaga keutuhan TKP, dimana hal ini sekarang menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan dalam pengujian (pemeriksaan) tempat kejadian perkara. Holmes menggunakan kimia analisis untuk menganalisis residu darah, demikian pula toksikologi untuk pengujian dan penentuan racun-racun. Dia menggunakan ilmu balistik untuk mengukur kaliber anak peluru dan mencocokkannya dengan senjata yang diduga digunakan membunuh.

Akhir Abad 19 hingga Awal Abad 20
Hans Gross menerapkan metode-metode ilmiah untuk pengujian (pemeriksaan) tempat kejadian perkara dan memberikan peran yang besar terhadap lahirnya ilmu kriminalistik.
Edmond Locard mengembangkan hasil kerja Gross dan kemudian melahirkan “Prinsip Pertukaran Locard” (Locard’s Exhange Principle) yang menyatakan bahwa “ Ketika dua buah obyek saling bersentuhan satu sama lain, materi yang ada pada keduanya juga akan saling bertukar. Hal ini berarti bahwa setiap kontak yang dilakukan oleh seorang pelaku kriminal akan meninggalkan bekas (jejak). Locard dikenal juga sebagai Sherlock Holmes-nya Perancis.
Alexande Lacassagne, gurunya Locard, membuat prosedur otopsi standar pada kasus-kasus forensik aktual.
Alphonse Bertillon seorang ahli kriminologi dari Perancis dan dianggap sebagai penemu Anthropometry (ilmu yang mempelajari bagian-bagian dari tubuh manusia serta ukuran-ukurannya). Dia menggunakan anthropometry untuk keperluan identifikasi manusia. Dia berpendapat bahwa setiap individu itu unik dan dapat diidentifikasi melalui perbedaan ukuran-ukuran fisiknya, dengan perbedaan ukuran tersebut sistem identifikasi personal dapat dibuat. Dia membuat Sistem Identifikasi Bertillon pada tahun 1879, melalui sistem tersebut pelaku kriminal dan penduduk  dapat diidentfikasi dengan melakukan pengukuran pada 20 bagian tubuh. Pada  tahun 1884, ada lebih dari 240 orang residivis yang tertangkap melalui sistem tersebut. Belakangan terbukti bahwa sistem sidik jari lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan Sistem Bertillon.
Pada akhir abad 20 beberapa ahli pathology dari Inggris, Mikey Rochman, Francis Camps, Sydney Smith dan Keith Simpson mempelopori penggunaan metode-metode baru dalam ilmu forensik.   

              




Tidak ada komentar:

Posting Komentar